Kamis, 17 November 2011


Makna Lagu Lir-Ilir

Lir-ilir,lir ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggo temanten anyar
Cah angon, cah angon
 Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodotiro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomana jumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang rembulae
Mumpung jembar kalangane
Yo surako.... Yo surako.. Hore..


Bangun, bangunlah (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi
Demikian menghijau
Bagaikan pengantin baru
Anak penggembala,
anak penggembala
Panjatlah belimbing itu
Walau susah tetap panjatlah
Untuk mencuci pakaianmu
Pakaian-pakaian buruk
Pisahkan dan jahitlan
Benahilah untuk
Menghadap nanti sore
Selagi bulan bersinar
Selagi banyak kesempatan
Mari bersorak, mari bersorak hore..




Tembang Lir Ilir yang banyak dinaggap sebagai lagu dolanan anak-anak ini sebetulnya adalah bukti kepandaian para Walisongo dalam mengajarkan Islam kepada penduduk Jawa melalui cara yang sangat menyenangkan dan tak bermaksud menggurui. Kata-kata dalam tembang itu seolah-olah deretan kata yang biasa saja yang menggambarkan keriangan dunia kanak-kanak. Namun, jika dibaca sungguh- sungguh akan banyak makna agamawi yang muncul.
Dimulai dari kata “Lir-Ilir” atau “bangun, bangunlah” dari keadaan tidur yang sering dilihan para ulama sebagai keadaan mati sementara, akan timbul pertanyaan, : “apanya yang harus dibangunkan atau dihidupkan? Ruh-kah? Kesadaran? Atau pikiran?” Tetapi maksud kata “Lir-Ilir “  yang juga mengandung makna angin semilir ini juga ditafsirkan sebagai imbauan lembut untuk berdzikir. Dzikir yang akan menghidupkan apa yang tadinya melenakan, dzikir untuk kembali siaga.
Baris “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak senggo penganten anyar”, bisa diartikan bahwa jika dzikir sudah dikerjakan, maka akan menghasilkan kehidupan yang indah dan nyaman seperti pohon hijau yang rindang sebagai tempat berteduh banya makhluk Allah di bumi. Setelah itu, meski kalimat sesudahnya mengaitkan kesejukan dan kerindangan pohon dengan kesejukan penganten baru, ada juga tafsir yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan “penganten baru” ini adalah raja-raja di Jawa yang baru memeluk agama Islam setelah leluhur mereka memeluk agama Hindu-Buddha. Pemahaman arti ini masih bisa diterima akal karena dengan berpindahnya keyakinan seorang raja akan diikuti oleh seluruh rakyatnya secara besar-besaran. Sehingga bisa terlihat seperti pohon  hijau yang rimbun, ”ijo royo-royo”.
Yang lebih menarik adalah baris berikutnya yang dimulai dengan “cah angon, cah angon” .Mengapa harus bocah penggembala yang diseru pembuat lagu ini? Mengapa bukan “Pak Kiai, Pak Kiai” , misalnya? Inilah kecerdasan Si Pembuat Lagu dalam memahami dunia kanak-kanak sekaligus konsep figur imamat. Penggembala adalah seseorang yang selalu mengarahkan hewan-hewan gembalanya agar tidak tersesat, layaknya seorang imam yang berkewajiban untuk membimbing makmumnya di jalan yang benar, betapapun sulitnya jalan itu.
Jika “cah angon” itu dilihat sebagai seruan lembut untuk para imam, bisa saja dalam bentuk para kiai, raja ataupun kaum terpelajar yang merasa punya kewajiban  untuk terus mengarahkan rakyat sebagai makmumnya.
Kalimat “penekno blimbing kuwi” menjadi sangat kuat maknyanya karena belimbing adalah buah yang memiliki lima sisi yang bisa dianggap sebagai simbol dari Rukun Islam. Sedangkan “penekno” merupakan ajakan kepada raja-raja untuk mengimbau masyarakatnya agar mengikuti jejak mereka untuk memeluk Islam.
Kalimat selanjutnya, “ lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro” memiliki arti bahwa meskipun cukup sulit untuk memperoleh “blimbing kuwi”, jika bisa didapatkan akan sangat membantu untuk mencuci pakaian. Tidak sulit memahami kalimat ini. Jika pengertian “blimbing kuwi” sebagai Rukun Islam , maka ankan mudah baginya untuk membersihkan hati, pikiran ketakwaan, sebagai pakaian yang digunakan sehari-hari. Sebab, jika tidak dibersihkan akan cepat lusuh.
Karena itu, jika pakaian takwa dan keimanan sudah mulai terlihat lusuh, baris- baris kalimat “dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir “ yang berarti bahwa pakaian yag sudah lusuh harus segera dipisahkan bukan maksud untuk dibuang, melainkan untuk dijahit kembali.
Adapun baris yang menyatakan “dondomana jumatana kanggo sebo mengko sore” atau “benahilah pakaianmu untuk menghadap nanti sore” sangat jelas maksudnya sebagai penanda waktu menyangkut kematian. Dengan demikian, seorang Muslim sudah selayaknya untuk membenahi pakaian iman dan takwanya sebelum kematian datang “diwaktu sore” atau diujung usia seseorang yang ditetapkan Allah SWT.
Tembang itu dilanjutkan dengan imbauan yang sangat menyejukkan hati bahwa segalanya harus segera dipersiapkan “mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane” yang bermakna “Selagi bulan bersinar, Selagi banyak kesempatan”. Karena jika sinar bulan sudah redup, alam semesta gelap dan tak ada lagi waktu luang untuk berbenah, sia-sia saja seluruh keinginan untuk memperbaiki pakaian takwa.
Seluruh lagu akhirnya ditutup dengan kata-kata riang gembira “Yo surako.... yo surako.. hore..” yang berarti sambutlah dengan sorak dan keceriaan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari.
Jika seluruh kalimat dalam tembang Lir-Ilir diteliti dengan cara seperti ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa Si Pencipta Lagu hanya membuat melodi indah ini hanya untuk anak-anak, karena sesungguhnya ada pesan yang lebih serius yang ditempatkan dalam kata-kata riang itu.