Sabtu, 18 Juni 2011

Mau Bicara?? Isi Dulu Kepala

Mau Bicara?? Isi Dulu Kepala

Sastrawan Taufiq Ismail bilang bangsa kita adalah bangsa yang rabun membaca dan lumpuh menulis. Lantas, apakah dengan demikian bangsa kita adalah bangsa yang telah terampil berbicara?
Kalau bikin forum bergunjing di sekitar gerobak tukang sayur sih kita memang juaranya, tapi apa kita jago juga bicara di depan umum? Beb, beb, belepotan kan?
Takut Mati?
Tidak. Saya lebih takut bicara!
Untuk mencari pembuktian yang gampang, coba nyalakan televisi atau radio, lalu simak baik-baik bagaimana bangsa kita bersuara. Maka kita aka menemukan hampir semua golongan masyarakat punya stok lebih untuk dijadikan kandidat pembicara terburuk. Tak peduli siapa mereka, dari penjahat sampai pejabat dari  yang mendekam di gedung mewah hingga yang kleleran di kolong jembatan , semua unjuk kekacauan berbicara, baik logika maupun gramatikanya.
Ternyata, meski bangsa kita terkenal ramah dan banyak mulut, urusan berbicara di depan umum adalah persoalan yang lain lagi. Seseorang yang kita kenal selalu lancar ketika berbicara atau berdebat di warung kopi, tiba-tiba menjadi seperti orang linglung ketika disuruh  maju ke mimbar atau podium. Sudah lima menit ia berdiri di sana dan memegang mic, tapi dari bibirnya hanya keluar kata ‘amma ba’du dan ‘amma ba’du lagi. Lalu berkeringatlah tangan teman kita itu. Beberapa paragraph yang sebelumnya telah dihapalnya  kabur dari kepala, bahkan kini ia jadi sesak napas. Sebentar lagi mungkin ia pingsan karena ternyata ia ug abelum sarapan.
Pasti di antara sobat semua ada yang pernah mengalami hal seperti itu. Gugup , grogi, nervous, demam panggung atau apapun namanya. Tapi, jangan kecil hati dulu, banyak kok yang mengalami hal seperti itu. Kata Mark Twain, semua orang pada dasarnya gugup ketika berbicara di depan umum. “Ada dua jenis pembicara, yang gugup dan pura-pura tidak gugup,”kata pencipta tokoh Tom Sawyer dan Huckleberry Finn ini.
Bahkan, menurut Lenny Laskowski, ketakutan berbicara di depan umum menduduki peringkat  pertama dalam daftar jenis ketakutan ( kita tahu ada orang yang takut ketinggian, takut terbang, takut serangga, takut tetangga ?? :D). Dan takut mati di daftar itu Cuma menduduki peringkat ke-7!
Salahnya Kultur Pendidikan Kita?
Jika sobat semua menengok ke belakang, mungkin kemempuan kita yang redah dalam berbicara di muka umum ini terkait dengan budaya kita sendiri. Budaya yang kita dengan bangga kita sebut ebagai adat ketimuran. Sejak kecil kita dijejali pengertian bahwa membantah pendapat orang tua itu jelek dan harus dihindari. Orang tua kita senang jika kita anteng, duduk tenang mendengarkan uraian guru kita di kelas. Jika kita menyanggah guru, orang tua atau orang yang dituakan dengan mengaukan pandangan yang berbeda, walapun benar kita akan dianggap tidak  sopan, suka melawan, dan sok pintar. Lantas, jika berbicara di depan umum, kita dicap ingin menonjolkan diri. Sialnya, pemerintah juga ikut-ikutan. Berani mengkritik kebijakan pemerintah kita akan dituduh subversiv, anti-Pancasila lalu kita dicekal atau dibungkam dengan berbagai cara.
Begitu seterusnya. Lama-lama kita hanyut dan menyimpulkan bahwa kemahiran berbicara adalah murni bakat pemberian Tuhan. Ia tidak bisa dibentuk melalui latihan atau pelajaran di sekolah. Ia hanya perlu dikuasai oleh orang tertentu aja. Tapi,itu semua kondisi puluhan tahun silam. Sekarang? Mungkin nggak jauh beda. Hehehe
Dan dalam soal mengajarkan public speaking ini, sekolah umum agaknya tertinggal oleh pesantren. Dan sekolah-sekolah umum kita pelit sekali member tips dan jurus  berbicara di depan umum. Sementara,di lembaga pendidikan yang sering kita anggap tradisional malah getol mendidik para santrinya untuk mengasah kmampuan berpidato. Dan pidatonya itu tak hanya dalam bahasa Indonesia saja, melainkan bahasa Inggris  dan Arab. Bikin ngiri kan?
Menurut Dr.Jalaluddin Rakhmat, pakar Ilmu Komunikasi), di Amerika Serikat mata kuliah retorika , disana disebut  speech communication, oral communication ataupu public speaking , menjadi mata kuliah wajib bagi semua tingkat undergrad (mebelum sarjana). Soalnya, pada tingkat pancasarjana mereka harus banyak melakukan presentasi, dan presentasi tentu saja memerlukan kemampuan retorika. Sedangkan di Indonesia, mata kuliah retorika terkucil di pojok kecil Fakultas Sastra dan di sudut lebih kecil lagi si Fakultas Ilmu Komunikasi. Bisa dibayangkan kan perbedaan dan dampaknya?
Oh ea sobat semua di atas telah disinggung bagaimana bangsa kita yang suka bicara ini tiba-tiba gagap begitu diminta mengajukan pendapat di muka public. Saya menduga, hal ini karena keterampilan berpendapat lebih terkait dengan budaya baca ketimbang budaya ngerumpi. Coba, kalimat apa yang bisa kita keluarkan dari mulut kalau kepala kita kopong dan lipa diisi?
Mengapa Public Speaking?
Menurut penelitian, kita menggunakan 75% waktu kita (diluar waktu tidur) untuk berkomunikasi. Dan hampir bisa dipastikan, sebagian besar dari waktu berkomunikasi itu kita lakukan secara lisan. Dan apa tujuan komunikasi lisan? Apa tujuan pidato, misalnya? Yui, di SMP kita diajarkan bahwa tujuan pidato paling tidak ada tiga, yaitu untuk member tahu (informatif), untuk membujuk (persuasif), dan menghibur (entertain).
Indonesia pernah punya Bung Karno dan Bung Tomo, mereka orator ulung, singa podium. Dengan penguasaan retorika yang prima, mereka telah menyadarkan bangsa kita bahwa kita sedang terjajah, sekaligus meyakinkan bahwa kita bukanlah bangsa tempe yang hanya bisa menunggu saja anugerah kemerdekaan dari sang penjajah. Di era sekarang, kita punya Aa’ Gym,Zanuddin MZ, Emha Ainun Nadjib, Gede Prama dan segudang pembicara lain yang dengan gaya khas masing-masing mampu memukau dan menggerakkan banyak khalayak. Nah, siapa yang tak ingin seperti mereka : mampu mendidik, mengajarka kebaikan, meyakinkan dan menghibur khalayak?
Baiklah, kalau yang saya  ungkapkan diatas itu terlalu muluk, kita  lihat saja lingkup yang lebih kecil. Coba amati, dalam lingkup skala  pun kita hampir tak lepas dari peran kemempuan public speaking. Bukankah  acara yang berkaitan dengan kelahiran, lamaran, pernikahan, kematian, ceramah, diskusi, seminar, debat, pengajian, rapat OSIS, rapat RT, bahkan menjual jamu di pinggir jalan dan seterusnya, memerlukan public speaking?
Masih kurang? Menurut penelitian Dr. Charles Hurst, mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech terbukti mendapat skor lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, dan lebih tinggi nilai akademisnya ketimbang yang tidak memperoleh pelajaran itu.
Berawal Dari Niat Membela Rakyat
Sekitar tahun 456 SM, terjadi revolusi di sebuah koloni di Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu dikuasai tiran. Yang namanya tiran, sudah pasti suka mencaplok tanah rakyat. Nah, setelah tiran dirobohkan dan demokrasi ditegakkan, rakyat yang ingin mengambil tanahnya harus dapat meyakikan juri  di pengadilan bahwa memang dialah pemilik tanah yang sah. Pasti puyengkan mereka? Apalagi saat itu belum ada pengacara atau sertifikat tanah. Untuk membantu rakyat bersilat lidah dan memperoleh haknya di pengadilah itulah, Corax  menulis makalah retorika yang disebut Techne Logon (seni kata-kata).
Mulai tahun itu, retorika berkilau pamornya di Yunani. Kursus retorika yang diajarkan kaum sophis (sebutan untuk guru retorika, pengajar kebijaksanaan) menjadi mahal, hingga Socrates hanya mampu membayar kursus untuk dasar bahasa rendah saja. Filusuf itu kemudian mengkrituk kaun sophis ini sedagai prostitute. Menurutnya, memperoleh uang dengan menjual kebijaksanaan sama halnya seperti pelacur menjual kecantikannya. Kritikan Socrates ini dibenarkan oleh Plato, muridnya.
Nah, dari sejarah singkatnya saja telah jelas bahwa retorika itu perlu dan bisa dipelajari. Ia bukan melulu bakat.

10 Tanda Hidup Kita Tidak Bahagia



1. Jika Anda tidak yakin siapa diri Anda
2. Jika Anda kehilangan arah & bingung menentukan prioritas
3. Jika Anda menjalani hidup hanya untuk menjalankan keinginan orang lain
4. Jika Anda tidak menghargai diri Anda
5. Jika Anda tidak menjadi yang terbaik bagi diri sendiri
6. Jika Anda tak bisa menjawab pertanyaan "untuk apa Anda hidup?" 
7. Jika Anda tak bisa menjawab pertanyaan "mau kemana setelah kehidupan?"
8. Jika Anda hidup hanya memikirkan diri sendiri
9. Jika Anda tak tahu standar baik buruk menurut Sang Pencipta & orang-orang di sekitar Anda
10. Jika Anda hanya mengejar materi tapi melupakan sesuatu yang tak bisa dilihat namun bisa dirasakan 

Kamis, 09 Juni 2011

Belajar Dari Cemoohan Orang

Ea...
Belajarlah dari cemoohan orang-orang di sekitar kita
Belajarlah dari kritikan, cercaan dan tertawaan mereka
Namun semua itu tak berarti ketika menjadi kepedihan semata
Belajarlah untuk bangkit dan terus menghasilkan karya nyata


Salam semangat sobat, berikut saya kutipkan tulisan yang begitu menginspirasi dari seorang Cahyadi Takariawan:

Silakan tidur dan berhenti dari kebaikan, maka para setan akan pesta pora merayakan kemenangan. Silakan menyesal menempuh jalan panjang bernama kebajikan, tempuh jalan lain yang lebih menyenangkan pemberitaan. Hanya itukah tujuan kita ? Mendapat pujian, mendapat pengakuan, mendapat ucapan selamat dan penghargaan atas kesantunan, kesalehan, kebaikan, kejujuran, dan kebersihan  yang ditampilkan ? Tidak siap mendengar kritik tajam, caci maki, cemoohan masyarakat ? Tidak kuat mendengar ledekan, tertawaan, gunjingan, dan kekesalan orang ?

Menyublimkan kepedihan menjadi amal kebaikan berkelanjutan yang kita lakukan dalam setiap tarikan nafas. Jangan menguapkannya, karena jika diuapkan kesedihan hanya akan hilang namun tidak menghasilkan karya. Ya, anda harus menyublimkan kepedihan ini menjadi sesuatu yang sangat berarti. Menjadi sesuatu yang menyemangati diri. Menjadi sesuatu yang menasihati. Menjadi sesuatu yang bernilai abadi. Menjadi sesuatu yang bernama kontribusi.

Setiap cemoohan dan ejekan akan menambah kesedihan di hati para pejuang. Setiap ketidakberhasilan akan menggoreskan kegetiran pada dada setiap pejuang. Kesedihan itu harus disublimasi menjadi karya yang berarti. Setiap hari kita telah terbiasa menumpuk kelelahan, kesedihan, kegetiran, kepedihan, dari yang terkecil hingga yang paling dalam. Menyublimkan kegetiran akan mengubahnya menjadi kerja nyata bagi bangsa dan negara. Apa artinya dipuji-puji jika tidak memiliki kontribusi yang berkelanjutan ? Apa salahnya dicaci maki jika itu memacu kontribusi yang lebih berarti bagi perbaikan ?

Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri. Keyakinan ini tak bisa ditawar lagi.