Lir-ilir,lir ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggo temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodotiro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomana jumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang rembulae
Mumpung jembar kalangane
Yo surako.... Yo surako.. Hore..
Bangun, bangunlah (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi
Demikian menghijau
Bagaikan pengantin baru
Anak penggembala,
anak penggembala
Panjatlah belimbing itu
Walau susah tetap panjatlah
Untuk mencuci pakaianmu
Pakaian-pakaian buruk
Pisahkan dan jahitlan
Benahilah untuk
Menghadap nanti sore
Selagi bulan bersinar
Selagi banyak kesempatan
Mari bersorak, mari bersorak hore..
Tembang Lir Ilir yang banyak dinaggap sebagai
lagu dolanan anak-anak ini sebetulnya adalah bukti kepandaian para Walisongo
dalam mengajarkan Islam kepada penduduk Jawa melalui cara yang sangat
menyenangkan dan tak bermaksud menggurui. Kata-kata dalam tembang itu
seolah-olah deretan kata yang biasa saja yang menggambarkan keriangan dunia
kanak-kanak. Namun, jika dibaca sungguh- sungguh akan banyak makna agamawi yang
muncul.
Dimulai dari
kata “Lir-Ilir” atau “bangun, bangunlah” dari keadaan tidur
yang sering dilihan para ulama sebagai keadaan mati sementara, akan timbul
pertanyaan, : “apanya yang harus dibangunkan atau dihidupkan? Ruh-kah?
Kesadaran? Atau pikiran?” Tetapi maksud kata “Lir-Ilir “ yang juga
mengandung makna angin semilir ini juga ditafsirkan sebagai imbauan lembut untuk
berdzikir. Dzikir yang akan menghidupkan apa yang tadinya melenakan, dzikir
untuk kembali siaga.
Baris “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak
senggo penganten anyar”, bisa diartikan bahwa jika dzikir sudah dikerjakan,
maka akan menghasilkan kehidupan yang indah dan nyaman seperti pohon hijau yang
rindang sebagai tempat berteduh banya makhluk Allah di bumi. Setelah itu, meski
kalimat sesudahnya mengaitkan kesejukan dan kerindangan pohon dengan kesejukan
penganten baru, ada juga tafsir yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan “penganten baru” ini adalah raja-raja di
Jawa yang baru memeluk agama Islam setelah leluhur mereka memeluk agama
Hindu-Buddha. Pemahaman arti ini masih bisa diterima akal karena dengan
berpindahnya keyakinan seorang raja akan diikuti oleh seluruh rakyatnya secara
besar-besaran. Sehingga bisa terlihat seperti pohon hijau yang rimbun, ”ijo royo-royo”.
Yang lebih
menarik adalah baris berikutnya yang dimulai dengan “cah angon, cah angon” .Mengapa harus bocah penggembala yang diseru
pembuat lagu ini? Mengapa bukan “Pak
Kiai, Pak Kiai” , misalnya? Inilah kecerdasan Si Pembuat Lagu dalam
memahami dunia kanak-kanak sekaligus konsep figur imamat. Penggembala adalah
seseorang yang selalu mengarahkan hewan-hewan gembalanya agar tidak tersesat,
layaknya seorang imam yang berkewajiban untuk membimbing makmumnya di jalan
yang benar, betapapun sulitnya jalan itu.
Jika “cah angon” itu dilihat sebagai seruan
lembut untuk para imam, bisa saja dalam bentuk para kiai, raja ataupun kaum
terpelajar yang merasa punya kewajiban untuk terus mengarahkan rakyat sebagai
makmumnya.
Kalimat “penekno blimbing kuwi” menjadi sangat kuat
maknyanya karena belimbing adalah buah yang memiliki lima sisi yang bisa
dianggap sebagai simbol dari Rukun Islam. Sedangkan “penekno” merupakan ajakan kepada raja-raja untuk mengimbau
masyarakatnya agar mengikuti jejak mereka untuk memeluk Islam.
Kalimat
selanjutnya, “ lunyu-lunyu penekno kanggo
mbasuh dodotiro” memiliki arti bahwa meskipun cukup sulit untuk memperoleh “blimbing kuwi”, jika bisa didapatkan
akan sangat membantu untuk mencuci pakaian. Tidak sulit memahami kalimat ini. Jika
pengertian “blimbing kuwi” sebagai
Rukun Islam , maka ankan mudah baginya untuk membersihkan hati, pikiran
ketakwaan, sebagai pakaian yang digunakan sehari-hari. Sebab, jika tidak
dibersihkan akan cepat lusuh.
Karena itu, jika
pakaian takwa dan keimanan sudah mulai terlihat lusuh, baris- baris kalimat “dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing
pinggir “ yang berarti bahwa pakaian yag sudah lusuh harus segera
dipisahkan bukan maksud untuk dibuang, melainkan untuk dijahit kembali.
Adapun baris
yang menyatakan “dondomana jumatana
kanggo sebo mengko sore” atau “benahilah
pakaianmu untuk menghadap nanti sore” sangat jelas maksudnya sebagai penanda
waktu menyangkut kematian. Dengan demikian, seorang Muslim sudah selayaknya
untuk membenahi pakaian iman dan takwanya sebelum kematian datang “diwaktu
sore” atau diujung usia seseorang yang ditetapkan Allah SWT.
Tembang itu dilanjutkan
dengan imbauan yang sangat menyejukkan hati bahwa segalanya harus segera
dipersiapkan “mumpung padang rembulane,
mumpung jembar kalangane” yang bermakna “Selagi
bulan bersinar, Selagi banyak kesempatan”. Karena jika sinar bulan sudah
redup, alam semesta gelap dan tak ada lagi waktu luang untuk berbenah, sia-sia
saja seluruh keinginan untuk memperbaiki pakaian takwa.
Seluruh lagu
akhirnya ditutup dengan kata-kata riang gembira “Yo surako.... yo surako.. hore..” yang berarti sambutlah dengan
sorak dan keceriaan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari.
Jika seluruh
kalimat dalam tembang Lir-Ilir diteliti dengan cara seperti ini, sulit untuk tidak
mengatakan bahwa Si Pencipta Lagu hanya membuat melodi indah ini hanya untuk
anak-anak, karena sesungguhnya ada pesan yang lebih serius yang ditempatkan
dalam kata-kata riang itu.